Jumat, 14 September 2012

  • Luangkanlah waktu anda seraya mengisi kekosongan dengan hanya sekedar membaca cerita, untuk lebih menambah pengalaman anda.“

Senyumku Mengandung Duka


“CIHUUUYYY........!”
         Aji jingkrak-jingkrak. Orang-orang di terminal pada melototin. Ada apa tuh anak? Apa sudah nggak waras? Aji nggak menghiraukan. Baginya gembiranya ya gembiraku juga. Aji sudah mangkal sejak sebuh menunggu penjaja koran. Hari ini kan pengumuman SPMB, jadi bela-belain bangun subuh untuk lihat hasil SPMB. Biasanya kalau Mama belum membangunkan, boro-boro mau bangun subuh. Soalnya kalau kesiangan, penjaja koran sudah nggak butuh duwit lagi.
         Ini kan kesempatan. Semua orang butuh koran untuk melihat hasil SPMB anaknya, cucunya, adiknya, atau dirinya sendiri. Jadi terpaksa, meski harganya selangit, orang tetap beli. Mungkin ini rezekinya penjaja koran setahun sekali, bukan hanya Lebaran saja yang setahun sekali. Di terminal penjaj koran berseliweran.
         “De, De! Koran!” panggil Candra menimpali deru mesin kendaraan, seusai turun dari angkutan kota.
         “Berapa?”
         “Sepuluh ribu,” sahut anak kecil penjajan koran.
         “Sepuluh ribu? Mahal banget! Biasanya kan tiga ribu...” ujar Candra sambil membuka lembaran koran.
         “Untuk hari ini, kata agen sepuluh ribu, Om.”
         Tanpa banyak tanya, Candra memberikan uang sepuluh ribu. Dia meneliti urutan nomor yang tertera. Suasana terminal disibukkan oleh para penumpang yang hilir mudik.Teriakan para kondektur menawarkan jasa menambah semarak.
         “Cihuuuyyy...!” terdengar teriakan di pintu luar terminal, belum sempat Candra meneliti semua rentetan nomor.
         Bah, apa Aji diterima? Kelihatannya gembira banget, pikirnya. Ia meneliti ulang lembar demi lembar dengan harap-harap cemas hingga tuntas. Penasaran. Diteliti kembali hingga lima kali. Gagal, deh!
         “Hey, Ji! Lo diterima?” tanya Candra menghampiri.
         “Nggak,” jawabnya santai.
         “Kok, kelihatannya lo gembira betul?”
         “Jelas dong. Soalnya, dengan kegagalan ini gue jadi sekolah ke Inggris.”
         “Yang bener?” Candra antar percaya dan tidak.
         “Kenapa tidak? Gue disana tinggal sama Om gue.
         “Sipa om lo?”
         “Pangeran Charles”
         Dasar, Aji bikin hati deg-deg plas! Kirain diterima. Eh bener lho! Aji mau sekolah ke Inggris. Dia di sana punya om yang usahanya cukup sukses. Makanya sewaktu mau ngadepin SPMB belajarnya ogah-ogahan biar nggak diterima, katanya. Lain, sih.....orang kaya. Kita mau diterima di universitas favorit, dia malah melalaikan.
         Candra melangkah gontai seraya enggan untuk berjalan. Dambaan sirna, hilang semua harapan, hilang semua impian, kini tinggal kenangan. Harapan kandas, cita-cita lepas, uang selama tiga tahun terkuras! Apakah ini cobaan? Kita tanya pada rumput yang bergoyang.
         “Bagaimana, Can? Diterima?” Mama menyambut dengan pernyataan di teras depan.
         “Nggak Ma,” ujar Candra lesu.
         Ia melintasi Mama. Mukanya muram. Lalu meletakkan koran yang tergulung kumal. Ia merebahkan tubuhnya. Pikirannya menerawang jauh.......
         “Ya sudah kalau nggak diterima kan masih ada kesempaan tahun depan, lagi pula universitas swastapun banyak yang statusnya disamakan dengan luar negeri,” ujar Mama bijaksana.
         “Ke swasta biayanya mahal, Ma.”
         “Mahal-mahal juga akan Mama usahakan kalau kamu benar-benar mau sekolah!’
         “Nggak mau, Ma! Mendingan Candra ikut kursus saja. Biayanya ringan, ilmunya padat, sekalian nunggu kesempatan buat tahun depan.”
         “Itu terserah kamu, Mama Cuma menyarankan.”
         “Tapi Ma....” suara Candra terpotong.

“Kriinggg.....!Kriinggg....!”

         Candra bangkit, lalu mengangkat gagang telepon.
         “Halo, siapa di sini? Eh, siapa di sana?” tanya Candra membuka pembicaraan.
         “Hai, Can! Selamat, ya!” ucap suara di seberang.
         Candra mengenal suara anak di seberang sana. Pasti Iin.
         “Selamat? Selamat apa? Selamat siang, pagi?”
         “Selamat menempuh hidup baru! Bukan ding. Selamat diterima di Perguruan Tinggi Neger.”
         “Apaan? Gue diterima aja nggak”
         “Mungkin lo salah lihat. Coba teliti halaman dua!”
         “janagn bikin ge-ger,ah! Awas kalo ngibul, gue jitak!”
         Candra menyanbar koran yang sudah kumal, gagang telepon diletakkan tidak pada tempatnya. Iin di seberang memaki-maki karena belum sempat berbicara panjang lebar. Mata Candra meneliti lembaran dua, lalu melototi namanya. Apa bener ini nama gue? Mencocokan nomornya. Keajaiban? Mama melihat tak bereaksi.
         “Cihuuuuyyyy...! Candra diterima, Ma.!” Ia memekik dan merangkul Mama sambil menciumi bertubi-tubi.
         “Alhamdulillah!” ucap Mama serambi menepuk pundak Candra. “Tapi gagang teleponnya diletakkan yang betul dong!” lanjutnya.
         “Iya Ma.....Candra lupa.”
         “Halo?”
         Nggak ada sahutan. Ke mana si Iin? Apa dia dongkol? Sori,In. Makasih atas informasimu.
         Bergegas Candra menyambar kunci di atas bufet meninggalkan Mama yang asyik dengan sulamannya.
         “Mau kemana, Can?” tanya Mama.
         “Ke tempat Fida,” suara Candra hilang dibalik pintu.
         Deru motor meninggalkan rumah bercar putih. Mama Cuma bisa geleng-geleng kepala. Motor melaju dengan cepat. Jalanan ramai hari Sabtu ini. Terminal sangat kotor oleh sobekan kertas SPMB. Petugas kebersihan jadi sibuk dibuatnya.
         “Priittt....”

         Candra menoleh, “Wah, polisi. Ada apa gerangan? Ya amplop! Lupa pakai helm. Alamat, kena nih....!”

         “Kenapa nggak pakai helm?” tanya polisi tegas.
         “Lupa, pak,” ujar Candra jujur.
         “Bawa surat-surat kendaraan?”
         Candra mengeluarkan dompet dan mengambil SIM dan STNK. Polisi memeriksa lalu manggut-manggut.
         “Sudah sana!” perintah polisi.
         Candra lantas membelokkan motornya ke gang. Pintu rumah yang dituju terbuka lebar dan tanpa permisi ia nyelonong masuk.
         “Fid!” panggil Candra.
         Ia ingin menyampaikan rasa gembira tapi urung melihat Fida duduk di kursi.
         “Fid, lo sakit?” Candra menghenyakkan pantatnya di sisi Fida. Wajahnya tertunduk seakan beban berat menggayuti dirinyan. Ada masalah apa ini?
         “Fida, ngomong dong! Kalau ada masalah katakan saja!”
         “Ngomong....” hanya itu yang terucap, bibirnya ogah bicara.
         “Aduh, Fid. Kalo lo diam terus, mana ada jalan keluarnnya? Terus terng aja! Kita pecahkan bersama.”
         Fida diam seribu bahasa. Lidahnya kelu untuk berucap. Suasana hening, hanya semilir angin menggoda dedaunan. Candra linglung harus berbuat apa, berbicara, takut menyinggung perasaannya. Apa karena nggak diterima di PTN? Atau masalah keluarga? Tapi biasanya kalau ada masalah ia selalu terbuka, sekalipun itu masalah pribadi. Beratkah beban yang diderita Fida? Candra bertanya-tanya.
         “Sorry,Fid, kalau kedatangan gue menambah beban fikiran lo” ujar Candra memutuskan.
         Bangkit. Tiba-tiba tangn Fida mencekal erat.
         “Hahaha.....!” tawa Fida lepas.
         Sandiwara apa ini? Apa Fida gila? Gara-gara nggak diterima di PTN?
         “Fida! Fida! Apa lo sudah gila?” Candra mengguncang-guncang bahu Fida.
         “Hahaha....! Siapa yang gila? Gue tidak gila! Candra, Candra.... Ternyata lo bisa dikelabuhi.
         “Huh, permainan apa ini?” Candra membanting pantatnya di kursi.
         “Untuk apa gue masuk teater kalau main sandiwara aja nggak bisa?” Fida mesem-mesem.
         “Sialan lo!” ujar Candra kesal.
         “Can, lo diterima nggak di PTN?” tanya Fida serius.
         “Terima dong,” ujar Cadra serambi meluruskan tubuhnya di kursi. “Lo?”
         “Terima dong!” Fida menuruti ucapan Candra.
         “Mama di Bandung udah diberi tahu?” tanya Candra.
         “Ya udah lah. Tadi langsung telegram. Ngg.... katanya, kalau diterima di PTN, mo nraktir?” tagih Fida.
         “Iya deh.....” sahut Candra.
         Mereka berdua langsung cabut keluar dari kos Fida. Di luar udara cerah secerah dua sejoli dalam menikmati masa remaja. Angin semilir. Di langit bintang berkedip-kedip.
         “Iin diterima nggak ya, Fid?” tanya Candra membuka pentanyaan.
         “Siapa?” tanya Fida heran.

         “Iin.”

         “Ooo... katanya sih diterima. Memang kenapa?”

         “Nggak, soalnya dia yang ngasih tahu gue diterima di PTN. Tadinya gue udah strss berst, ngeliat nama gue nggak ada. Eh, taunya dia nelpon...kirain bohongan!”
         Candra mengunyah bolu donatnya, sementara Fida asyik mengaduk minuman yang semakin dingin. Pengunjung semakin sepi,  bangku-bangku mulai kosong. Malam kian larut. Candra memacu motornya dengan kecepatan tinggi. Tangannya terasa dingin. Fida mendekap erat, binatang malam menepis muka.
         “Can, kalau mau daftar ulang, jemput gue ya...?” pinta Fida sesampainya di tempat kosnya.
         “Siipp!”
         Tiba-tiba di pintu sebelah muncul tetangga kos Fida.
         “Fida, tadi sore ada yang nganter surat!”
         Lia nama tetangga kos Fida ini menyodorkan surat bersampul putih. Pengirimnya dari Bandung. Isinya pasti kiriman, pikir Fida.
         “Sreeett....”
                          Buat Ananda Fida
Mama gembira sekali menerima kabar kamu diterima di PTN, tapi sekarang Mama mohon Ananda pulang dulu ke Bandung karena ada sesuatu.
         Sesuatu? Jangan-jangan ada yang nggak beres! Candra yang hampir melintas pintu gerbang menghentikan laju motornya.
         “Candra! Candra!” pekik Fida serambi berlari kecil.
         “Ada apa?”
         “Tunggu gue sebentar!”
         Fida kembali ke rumah membereskan pakaiannya dan memasukkan ke tas.
         “Anterin gue ke terminal!”
         “Ngapain malam-malam gini ke terminal? Ngeceng!?” gurau Candra.
         “Gue mau ke Bandung.”
         “Malam-malam begini? Besok kan masih ada waktu??”
         “Ayo, udah! Mau ngnter nggak?” tanya Fida kesal.
         Candra menurut. Motor menembus kebisuan malam yang pekat. Bus malam ditumpangi Fida sarat oleh penumpang. Perjalanan malam terasa menjemukan. Pikiran Fida menerawang. Perasaan tak menentu. Benarkah yang dikatakan Rudi tempo hari Mama sakit? Tapi nggak mungkin Rudi bergurau. Mungkin saja Mama sakit. Dulu Mama pernah shock berat gara-gara ulah Rina, sang adik yang tiap malam keluyuran melulu. Ugal-ugalan di jalan. Belum lagi tingkah Andre. Saban hari minta uang melulu. Mending kalau masih ada Papa. Semuanya memang tak tahu diri! Huhh... Fida menepis bayangan.
         Ia menoleh keluar. Malam amat pekat. Di dalam bus. Rasa penat semakin menyekat. Fida membuka jendela kaca. Angin dingin memenbus. Hawa dingin menyapa. Di samping Fida terdapat kakek-kakek yang tertidur pulas. Menyebalkan! Penumpang bus terlelap. Fida memaksakan memejamkan mata, tapi sulit.
         Pukul 08.00, Fida sampai di Bandung. Rumah sepi. Terlihat Mang Udin sedang menyapu.
         “Kok sepi, Mang?” sapa Fida.
         “Eh, Non! Baru datang?” ujar Mang Udin menyambut ramah.
         Fida meneliti. Terlihat sesuatu yang janggal.
         “Mama mana, Mang?” tanya Fida.
         Tangannya meletakkan tas. Mang Udin tertunduk seakan tak mendengar pertanyaan Fida.
         “Mama ada, Mang Udin?” ujar Fida mempertegas.
         “Mama sudah pulang,” kata Mang Udin perlahan.
         “Pulang kemana? Ketempat nenek?
         “Bukan,ta......tapi ke Rahmatullah!” ujar Mang Udin.
         Air matanya menggenang.
         “Mamaaa.......!!!” jerit Fida.
         Ia menabrak pintu yang tertutup.

         “Braaaakkk....!”

         Di ruangan ia mencari Mama tapi tidak ada. Terlihat foto berbingkai Mama tersenyum mengembang. Air mata Fida tak bisa dibendung. Ia mendekap foto Mama dan menghenyakkan pantatnya di sisi dipan. Maa........ mengapa tinggalkan Fida? Fida sama siapa? Kembali, Mama..... batin Fida menjerit lirih. Perasaan seperti disayat sembilu. Ia tak kuasa menahan tangis. Wajahnya ditelungkupkan ke bantal.
         “Sudahlah,Fida! Biarkan Mama pergi dengan tenang!”
         Tante Mia menghibur. Ia pun turut larut dalam duka. Tangannya membelai rambut Fida.
         Keesokan harinya, Fida melayat kuburan Mamanya bersama Tante Mia. Ia menyesali perbuatannya, mengapa harus segera memberi kabar bahwa ia diterima di PTN? Shock Mama kambuh oleh rasa gembira. Fida menaburi bunga di atas tanah merah yang menggunung, matanya sembab karena tangis, tubuhnya lesu. Fida bersimpuh di sisi kuburan Mama.

0 komentar:

Posting Komentar