- Luangkanlah waktu anda
seraya mengisi kekosongan dengan hanya sekedar membaca cerita, untuk
lebih menambah
pengalaman anda.“
Senyumku
Mengandung Duka
Aji jingkrak-jingkrak. Orang-orang di terminal pada
melototin. Ada apa tuh anak? Apa sudah nggak waras? Aji nggak
menghiraukan.
Baginya gembiranya ya gembiraku juga. Aji sudah mangkal sejak sebuh
menunggu
penjaja koran. Hari ini kan pengumuman SPMB, jadi bela-belain bangun
subuh
untuk lihat hasil SPMB. Biasanya kalau Mama belum membangunkan,
boro-boro mau
bangun subuh. Soalnya kalau kesiangan, penjaja koran sudah nggak butuh
duwit
lagi.
Ini kan kesempatan. Semua orang butuh koran untuk melihat
hasil SPMB anaknya, cucunya, adiknya, atau dirinya sendiri. Jadi
terpaksa,
meski harganya selangit, orang tetap beli. Mungkin ini rezekinya penjaja
koran
setahun sekali, bukan hanya Lebaran saja yang setahun sekali. Di
terminal
penjaj koran berseliweran.
“De, De! Koran!” panggil Candra menimpali deru mesin
kendaraan, seusai turun dari angkutan kota.
“Sepuluh ribu,” sahut anak kecil penjajan koran.
“Sepuluh ribu? Mahal banget! Biasanya kan tiga ribu...” ujar
Candra sambil membuka lembaran koran.
“Untuk hari ini, kata agen sepuluh ribu, Om.”
Tanpa banyak tanya, Candra memberikan uang sepuluh ribu. Dia
meneliti urutan nomor yang tertera. Suasana terminal disibukkan oleh
para
penumpang yang hilir mudik.Teriakan para kondektur menawarkan jasa
menambah
semarak.
“Cihuuuyyy...!” terdengar teriakan di pintu luar terminal,
belum sempat Candra meneliti semua rentetan nomor.
Bah, apa Aji diterima? Kelihatannya gembira banget,
pikirnya. Ia meneliti ulang lembar demi lembar dengan harap-harap cemas
hingga
tuntas. Penasaran. Diteliti kembali hingga lima kali. Gagal, deh!
“Hey, Ji! Lo diterima?” tanya Candra menghampiri.
“Nggak,” jawabnya santai.
“Kok, kelihatannya lo gembira betul?”
“Jelas dong. Soalnya, dengan kegagalan ini gue jadi sekolah
ke Inggris.”
“Yang bener?” Candra antar percaya dan tidak.
“Kenapa tidak? Gue disana tinggal sama Om gue.
Dasar, Aji bikin hati deg-deg plas! Kirain diterima. Eh
bener lho! Aji mau sekolah ke Inggris. Dia di sana punya om yang
usahanya cukup
sukses. Makanya sewaktu mau ngadepin SPMB belajarnya ogah-ogahan biar
nggak
diterima, katanya. Lain, sih.....orang kaya. Kita mau diterima di
universitas
favorit, dia malah melalaikan.
Candra melangkah gontai seraya enggan untuk berjalan.
Dambaan sirna, hilang semua harapan, hilang semua impian, kini tinggal
kenangan. Harapan kandas, cita-cita lepas, uang selama tiga tahun
terkuras!
Apakah ini cobaan? Kita tanya pada rumput yang bergoyang.
“Bagaimana, Can? Diterima?” Mama menyambut dengan pernyataan
di teras depan.
“Nggak Ma,” ujar Candra lesu.
Ia melintasi Mama. Mukanya muram. Lalu meletakkan koran yang
tergulung kumal. Ia merebahkan tubuhnya. Pikirannya menerawang
jauh.......
“Ya sudah kalau nggak diterima kan masih ada kesempaan tahun
depan, lagi pula universitas swastapun banyak yang statusnya disamakan
dengan
luar negeri,” ujar Mama bijaksana.
“Ke swasta biayanya mahal, Ma.”
“Mahal-mahal juga akan Mama usahakan kalau kamu benar-benar
mau sekolah!’
“Nggak mau, Ma! Mendingan Candra ikut kursus saja. Biayanya
ringan, ilmunya padat, sekalian nunggu kesempatan buat tahun depan.”
“Itu terserah kamu, Mama Cuma menyarankan.”
“Tapi Ma....” suara Candra terpotong.
“Kriinggg.....!Kriinggg....!”
Candra bangkit, lalu mengangkat
gagang telepon.
“Halo, siapa di sini? Eh, siapa di sana?” tanya Candra
membuka pembicaraan.
“Hai, Can! Selamat, ya!” ucap suara di seberang.
Candra mengenal suara anak di seberang sana. Pasti Iin.
“Selamat? Selamat apa? Selamat siang, pagi?”
“Selamat menempuh hidup baru! Bukan ding. Selamat diterima
di Perguruan Tinggi Neger.”
“Apaan? Gue diterima aja nggak”
“Mungkin lo salah lihat. Coba teliti halaman dua!”
“janagn bikin ge-ger,ah! Awas kalo ngibul, gue jitak!”
Candra menyanbar koran yang sudah kumal, gagang telepon
diletakkan tidak pada tempatnya. Iin di seberang memaki-maki karena
belum
sempat berbicara panjang lebar. Mata Candra meneliti lembaran dua, lalu
melototi namanya. Apa bener ini nama gue? Mencocokan nomornya.
Keajaiban? Mama
melihat tak bereaksi.
“Cihuuuuyyyy...! Candra diterima, Ma.!” Ia memekik dan
merangkul Mama sambil menciumi bertubi-tubi.
“Alhamdulillah!” ucap Mama serambi menepuk pundak Candra. “Tapi
gagang teleponnya diletakkan yang betul dong!” lanjutnya.
“Iya Ma.....Candra lupa.”
Nggak ada sahutan. Ke mana si Iin? Apa dia dongkol? Sori,In.
Makasih atas informasimu.
Bergegas Candra menyambar kunci di atas bufet meninggalkan
Mama yang asyik dengan sulamannya.
“Mau kemana, Can?” tanya Mama.
“Ke tempat Fida,” suara Candra hilang dibalik pintu.
Deru motor meninggalkan rumah bercar putih. Mama Cuma bisa
geleng-geleng kepala. Motor melaju dengan cepat. Jalanan ramai hari
Sabtu ini.
Terminal sangat kotor oleh sobekan kertas SPMB. Petugas kebersihan jadi
sibuk
dibuatnya.
Candra menoleh, “Wah, polisi. Ada apa gerangan? Ya amplop! Lupa
pakai helm. Alamat, kena nih....!”
“Kenapa nggak pakai helm?” tanya
polisi tegas.
“Lupa, pak,” ujar Candra jujur.
“Bawa surat-surat kendaraan?”
Candra mengeluarkan dompet dan mengambil SIM dan STNK. Polisi
memeriksa lalu manggut-manggut.
“Sudah sana!” perintah polisi.
Candra lantas membelokkan motornya ke gang. Pintu rumah yang
dituju terbuka lebar dan tanpa permisi ia nyelonong masuk.
Ia ingin menyampaikan rasa gembira tapi urung melihat Fida
duduk di kursi.
“Fid, lo sakit?” Candra menghenyakkan pantatnya di sisi
Fida. Wajahnya tertunduk seakan beban berat menggayuti dirinyan. Ada
masalah
apa ini?
“Fida, ngomong dong! Kalau ada masalah katakan saja!”
“Ngomong....” hanya itu yang terucap, bibirnya ogah bicara.
“Aduh, Fid. Kalo lo diam terus, mana ada jalan keluarnnya?
Terus terng aja! Kita pecahkan bersama.”
Fida diam seribu bahasa. Lidahnya kelu untuk berucap.
Suasana hening, hanya semilir angin menggoda dedaunan. Candra linglung
harus
berbuat apa, berbicara, takut menyinggung perasaannya. Apa karena nggak
diterima di PTN? Atau masalah keluarga? Tapi biasanya kalau ada masalah
ia
selalu terbuka, sekalipun itu masalah pribadi. Beratkah beban yang
diderita
Fida? Candra bertanya-tanya.
“Sorry,Fid, kalau kedatangan gue menambah beban fikiran lo”
ujar Candra memutuskan.
Bangkit. Tiba-tiba tangn Fida mencekal erat.
“Hahaha.....!” tawa Fida lepas.
Sandiwara apa ini? Apa Fida gila? Gara-gara nggak diterima
di PTN?
“Fida! Fida! Apa lo sudah gila?” Candra mengguncang-guncang
bahu Fida.
“Hahaha....! Siapa yang gila? Gue tidak gila! Candra,
Candra.... Ternyata lo bisa dikelabuhi.
“Huh, permainan apa ini?” Candra membanting pantatnya di
kursi.
“Untuk apa gue masuk teater kalau main sandiwara aja nggak
bisa?” Fida mesem-mesem.
“Sialan lo!” ujar Candra kesal.
“Can, lo diterima nggak di PTN?” tanya Fida serius.
“Terima dong,” ujar Cadra serambi meluruskan tubuhnya di
kursi. “Lo?”
“Terima dong!” Fida menuruti ucapan Candra.
“Mama di Bandung udah diberi tahu?” tanya Candra.
“Ya udah lah. Tadi langsung telegram. Ngg.... katanya, kalau
diterima di PTN, mo nraktir?” tagih Fida.
“Iya deh.....” sahut Candra.
Mereka berdua langsung cabut keluar dari kos Fida. Di luar
udara cerah secerah dua sejoli dalam menikmati masa remaja. Angin
semilir. Di
langit bintang berkedip-kedip.
“Iin diterima nggak ya, Fid?” tanya Candra membuka
pentanyaan.
“Siapa?” tanya Fida heran.
“Iin.”
“Ooo... katanya sih diterima.
Memang kenapa?”
“Nggak,
soalnya dia yang ngasih
tahu gue diterima di PTN. Tadinya gue udah strss berst, ngeliat nama gue
nggak
ada. Eh, taunya dia nelpon...kirain bohongan!”
Candra mengunyah bolu donatnya, sementara Fida asyik
mengaduk minuman yang semakin dingin. Pengunjung semakin sepi,
bangku-bangku mulai kosong. Malam kian larut.
Candra memacu motornya dengan kecepatan tinggi. Tangannya terasa dingin.
Fida
mendekap erat, binatang malam menepis muka.
“Can, kalau mau daftar ulang, jemput gue ya...?” pinta Fida
sesampainya di tempat kosnya.
Tiba-tiba di pintu sebelah muncul tetangga kos Fida.
“Fida, tadi sore ada yang nganter surat!”
Lia nama tetangga kos Fida ini menyodorkan surat bersampul
putih. Pengirimnya dari Bandung. Isinya pasti kiriman, pikir Fida.
Mama
gembira sekali menerima kabar kamu diterima di PTN, tapi
sekarang Mama mohon Ananda pulang dulu ke Bandung karena ada sesuatu.
Sesuatu? Jangan-jangan ada yang nggak beres! Candra yang
hampir melintas pintu gerbang menghentikan laju motornya.
“Candra! Candra!” pekik Fida serambi berlari kecil.
Fida kembali ke rumah membereskan pakaiannya dan memasukkan
ke tas.
“Anterin gue ke terminal!”
“Ngapain malam-malam gini ke terminal? Ngeceng!?” gurau
Candra.
“Malam-malam begini? Besok kan masih ada waktu??”
“Ayo, udah! Mau ngnter nggak?” tanya Fida kesal.
Candra menurut. Motor menembus kebisuan malam yang pekat.
Bus malam ditumpangi Fida sarat oleh penumpang. Perjalanan malam terasa
menjemukan. Pikiran Fida menerawang. Perasaan tak menentu. Benarkah yang
dikatakan Rudi tempo hari Mama sakit? Tapi nggak mungkin Rudi bergurau.
Mungkin
saja Mama sakit. Dulu Mama pernah shock berat gara-gara ulah Rina, sang
adik
yang tiap malam keluyuran melulu. Ugal-ugalan di jalan. Belum lagi
tingkah
Andre. Saban hari minta uang melulu. Mending kalau masih ada Papa.
Semuanya
memang tak tahu diri! Huhh... Fida menepis bayangan.
Ia menoleh keluar. Malam amat pekat. Di dalam bus. Rasa
penat semakin menyekat. Fida membuka jendela kaca. Angin dingin
memenbus. Hawa
dingin menyapa. Di samping Fida terdapat kakek-kakek yang tertidur
pulas.
Menyebalkan! Penumpang bus terlelap. Fida memaksakan memejamkan mata,
tapi
sulit.
Pukul 08.00, Fida sampai di Bandung. Rumah sepi. Terlihat
Mang Udin sedang menyapu.
“Kok sepi, Mang?” sapa Fida.
“Eh, Non! Baru datang?” ujar Mang Udin menyambut ramah.
Fida meneliti. Terlihat sesuatu yang janggal.
“Mama mana, Mang?” tanya Fida.
Tangannya meletakkan tas. Mang Udin tertunduk seakan tak
mendengar pertanyaan Fida.
“Mama ada, Mang Udin?” ujar Fida mempertegas.
“Mama sudah pulang,” kata Mang Udin perlahan.
“Pulang kemana? Ketempat nenek?
“Bukan,ta......tapi ke Rahmatullah!” ujar Mang Udin.
“Mamaaa.......!!!” jerit Fida.
Ia menabrak pintu yang tertutup.
“Braaaakkk....!”
Di ruangan ia mencari Mama tapi
tidak ada. Terlihat foto berbingkai Mama tersenyum mengembang. Air mata
Fida
tak bisa dibendung. Ia mendekap foto Mama dan menghenyakkan pantatnya di
sisi
dipan. Maa........ mengapa tinggalkan Fida? Fida sama siapa? Kembali,
Mama.....
batin Fida menjerit lirih. Perasaan seperti disayat sembilu. Ia tak
kuasa
menahan tangis. Wajahnya ditelungkupkan ke bantal.
“Sudahlah,Fida! Biarkan Mama pergi dengan tenang!”
Tante Mia menghibur. Ia pun turut larut dalam duka.
Tangannya membelai rambut Fida.
Keesokan harinya, Fida melayat kuburan Mamanya bersama Tante
Mia. Ia menyesali perbuatannya, mengapa harus segera memberi kabar bahwa
ia
diterima di PTN? Shock Mama kambuh oleh rasa gembira. Fida menaburi
bunga di
atas tanah merah yang menggunung, matanya sembab karena tangis, tubuhnya
lesu.
Fida bersimpuh di sisi kuburan Mama.